“Guratan ini adalah suara hati yang nyata dalam satu episode hidupku”
Aku terkulai di bangsal sebagai pesakit didera koma. “Aku, manusia paling tak berguna, dan paling hina di dunia.” Krisis arti diri dan hidup menyeretku dalam kekosongan.
Ingatanku diajak masuk masa-masa indah bersama saudara sepanggilan. Menenun dalam persaudaraan “Menjadi seorang imam”. Begitu kami berhasrat. Empat tahun pertama pendidikan seminari kujalani.
4 April 1998. Dia pergi. Tinggalkan luka kedukaan mendalam. Dia tak lagi menyaksikan kebanggaannya menapaki jalan-jalan suci. Tubuh kaku diatas peti, pemandangan ini yang kanyataan hiduapku.
Tak kan lagi terdegar, “Anakku, bagaimana kabarmu. Apa kesulitanmu dalam pendidikan, anakku. Semangat ya anakku, gapailah impianmu seturut rencana Dia yang memanggilmu!”
Dalam ketidakmampuan menolak rencana Tuhan, aku coba iklas melepasnya. Balutan imanku menguatkan, “ini bukan akhir”. Ia telah bersama-Nya. Keyakinan ini menegarkanku—tak menangisinya. “Kurelakan dia menjumpai Allah yang mencintainya. Aku tak mau membuatnya bersedih.”
“Apakah pengalaman ini, bagian rencana-Nya dalam jalan panggilanku?”
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam tahun berlalu. Pendidikan kebiaraan pun telah kuselesaikan. Gelar sarjana sastra telah kuraih.
“Tahun ini adalah masa pastoralku. Aku mau belajar bagaimana sih menjadi gembala.”
“Fr. Clemens,” begitu aku dipanggil.
Tahun keenam perjananku sebagai frater diputuskan. Tidak sedikitpun terlintas dalam benak ini aku tidak diterima. Namun, “RencanaKu bukanlah rencanamu, jalan-Ku bukanlah jalanmu.” Inilah kenyataannya. Nafasku terhenti. Tubuh ini kaku. Tak yakin akan hal itu. “Anda tidak diterima”. Bersama itu pula manisnya masa pastoral, kini harus terkubur, terkubur sebelum tumbuh dalam sejarah panggilanku.
“Apakah maksud pengalaman ini?”
Terdiam, kesendirian dan keheningan dalam kamar. Di sudut kamar meratapi jalan-jalan indah. Pengalaman hari ini. Semua jadi satu. Tak kusadari berapa lama aku menundukkan kepala seperti pejuang kalah berperang..
Gerimis turun ikut berkabung dalam kekecewaan dan kesedihanku. Tak kuasa melawan pahit kenyatan ini. Kupandangi foto-foto kisah pendakianku.
Wajah-wajah pendukung panggilanku melintas menyergap. Satu wajah pun menguat dipandanganku. Airmata tangisanlah sebagai jawabannya. Tak tahu kapan tangan ini menggapai jurnal harianku—tepat membuka 04 April 1998.
Tangisku semakin menjadi. Kicauan kakak tua di depan kamar pun seakan berubah menjadi tangisan kesedihannya padaku.
“Maafkan aku ayah, perjalanan ini harus terhenti. Maafkan aku, ayah.” Inilah yang mewakili seluruh kekecewaanku.
Di pojok kamar, di ruang doa pribadiku. Dengklik terbalut ulos merah keemasan dan sebatang lilin menemani lukisan kecil Yesus mengetuk pintu. Berteman cahaya lilin unggu, ku berpasrah. Kuyakinkan diri ini bersandar pada rencana-Nya selanjutnya.
Dua hari berjelang “aku harus pulang ke tanah kelahiranku. Aku tidak mau menambah sakit ketidaksiapanku menerima pengalaman ini. Ya, menyakitkan tatkala menyaksikan diri ini kini tak termasuk lagi bagian dari bilangan mereka.”
Kutinggalkan selaksa pengalaman perjuanganku di biara. Persaudaraan dan sejuta pengalaman yang tak terlupakan. Kukuatkan langkahku meninggalkan semua itu. “Selamat tinggal dan berjuanglah saudara-saudaraku. Terimakasih atas semua apa yang pernah kita rajut bersama. Kita saling mendoakan dimana pun kita berada dalam perjuangan kita masing-masing.”
Kisah-kisah itu tidak jua berakhir. Stigma yang mempurukkan diri pun masih harus kuterima dari umat. Tanpa mau tahu alasan. “Mereka kira aku ini keluar karena kasus perempuan, hanya curi-curi ilmu setelah sarjana didapat, lalu keluar”. Dan masih banyak lagi vonis-vonis yang mematikan. Rasa malupun hinggap dalam diriku ini. Siksa bukan hanya tertuju padaku seorang. Ibu tercinta dan keluargapun turut menerimanya.
“Sungguh kejamnya”, tangisku.
Tak sanggup kuterima ini. Kukuatkan niatku. Setelah makan bersama sekeluarga keputusanku yang berat ini harus kusampaikan.
“Ibuku yang kusayangi, abang dan adik-adiku. aku berencana besok merantau ke kota Jakarta. Cukuplah masa penenangan ini. Aku mau membangun masa depanku yang baru di tempat baru.”
Kupandangi wajah-wajah di hadapanku sepertinya tak percaya pada keputusanku. Di tengah kesunyian itu mereka tak berdaya mencegahnya.
Sehari, seminggu, sebulan, setahun berlalu. Kugapai masa depanku bersama impian yang kuikat satu dalam diri ini. Kesuksesan demi kesuksesan pun mulai jelas di hadapanku. Namun satu yang tak dapat terlepas dariku. “Aku adalah seorang mantan frater”.
Pengalaman itupun muncul bersamaan dengan lingkungan gereja tempatku berdomisili. Gambaran negatif yang tak mau menerima mantan frater pun menambah luka diri ini.
Deburan ombak pantai menghadirkan semuanya secara jelas di pelupuk mata. Pasir putih yang terhampar seluas pantai tak lagi menggugah. Desiran angin dan gelak tawa gembira pengunjung pantai pun tak dapat mengubah pasang surut emosi kekecewaan dalam hatiku.
Berganti hari, berganti minggu dan bulan. Kini sudah bulan kedua pergumulan ini kugeluti sendiri. Tak ada teman tempat berbagi. Kesendirian dan seribu satu emosi membuatku seperti mayat hidup. Bergerak dan melakukan sesuatu sesuai tanpa daya. Semakin larut semakin membuatku tersiksa.
Entah sudah berapa lama mata ini terkatup, terbuka sesaat. Terdengar tangisan. Kucoba cari asal tangisan menyayat hatiku.
“Ibu, jangan menangis,” pintaku. Airmata menetesi pipi anggun itu. Tangisan ibu tak kuasa merasakan derita anak kandungnya. Di tangannya seuntai rosario—“dia sedang mendaraskan doa”. Pandangan kami beradu. Mata indah nya seakan berbicara “anakku, biarlah deritamu ini ibu yang menggantikannya.” pipi ini.
“Anakku, janganlah kau menangis.” Tangannya menghapus airmataku.
Sosok-sosok di sampingnya adalah pribadi-pribadi yang memahamiku. Abang, yang sangat menyayangiku, adik-adiku yang selalu menguatkan dan menyemangatiku. Rasa sedih Tak bisa disembunyikan dari wajah mereka..
Saat itu 4 April 2006. “Ayah mana? Aku mau bertemu dengannya. Aku mau meminta maaf padanya. Maaf yang harus kuutarakan. ‘Maafkan aku ayah,. Aku telah gagal berjuang menjawab panggilan menjadi seorang pastor. Maafkan aku, ayah....’” mulut ini berkata, begitu saja.
Tangis mereka semakin memecah. Sesekali ku mendengar “sudah, sudah jangan kau ingat-ingat lagi. Kita sudah tidak mengingatnya. Kamu tetap anakku. Kau adalah kebanggan kami.” Dalam dekapan ibu tercinta, aku sempat melihat mereka semuanya satu per satu, “maafkan aku, selamat tinggal. Doakan aku”.
Jakarta, 16 Desember 2008
Srihandriatmo Malau
(Andri Malau Lambe Raja)
Klinik Rohani Links :
terimakasih kepada semua pihak.
ReplyDeletesemoga berguna apa yg saya refleksikan dan tuangkan dalam bentuk tulisan ini.
salam
Andri Malau
Yakinlah Tuhan selalu ada buat kamu...
ReplyDeleteMemang, rancanganNya bukanlah mudah utk dipahami,
saya bisa ikut merasakan pergumulanmu yg sangat tidak mudah...
GBU
syalom,
ReplyDeleteaku tahu seberapa besar perjuanganmu temanku, karena akupun dulu pernah mengalaminya,.. tp, satu hal yg harus kamu tahu,,
"TUHAN tidak pernah tidur dan meninggalkanmu sendirian. Jalan Tuhan bukanlah seperti apa yg kita pikirkan dan rencanakan.. percayalah temanku..
Tuhan mencintai kita, jangan pernah putus asa.. yakinlah kamu, aku, kita semua pasti bisa menghadapinya.. semangat!!
I love Jesus coz He Loves me first!!
JBU all.
ambil artikelnya ya, moga bisa menjadi berkah di paroki kami.trims. Berkah Dalem
ReplyDeleteapa pun yang terjadi ingatlah " Allah turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi kita" tetaplah percaya bro
ReplyDeleteartikel ini adalah refleksi batinku, siapa pun yang mau mengambil atau mempublisnya, monggo silahkan sejauh tidak merubahnya... terimakasih syalom
ReplyDeleteSaudaraku, tidak mudah saya untuk berkomentar. tapi satu hal yang dapat saya ucapkan adalah bahwa orang benar tidak akan dibiarkan-Nya jatuh sampai tergeletak. Dan orang yang mengasihi Tuhan, jika jalan terlihat menurun maka hal itu pastilah menurun untuk naik.
ReplyDeleteSyalom,
ReplyDeleteKetika aku sdg membaca artikel ini, perasaanku tersentuh dan jiwa sedih terharu disebabkan aku teringat dengan ayahku yg tlah tiada dan aku blum sempat mohon maaf kepadanya tanpa kusadari menetes air mataku...Percayalah saudaraku Tuhan Yesus bersama dia(ayah)dalam pelukkan-Nya. Yesus Mengasihikita.
Memang kegagalan adalah sesuatu yang membuat kita selalu dirongrong, dan penolakan akan diri kita karena persepsi yang salah adalah sesuatu yang sering kita terima. Pelajaran yang sangat berharga telah engkau raih Bro suatu batu ujian "hempasan" untuk melompat dalam iman lebih tinggi lagi telah Tuhan Kasih di kakimu melompatlah pasti naik lebih tinggi,
ReplyDeletesemangat mu membuat aku terharu,yakin dan percayalah Tuhan telah menyediakan sesuatu yang lebih indah dari yang kita harapkan. senantiasa bersandarlah kepada Nya dengan iman dan pengharapan.
ReplyDeletetulisan yang sangat memberkati...
ReplyDeleteTUhan memberkatimu.. :)
Rencana Tuhan Jesus Kristus telah di persiapakan utk saudar.!
ReplyDelete