Bacaan :
Pkh 1:2-11;
Luk 9:7-9
“Herodes, raja wilayah, mendengar segala yang terjadi itu dan ia pun merasa cemas, sebab ada orang yang mengatakan, bahwa Yohanes telah bangkit dari antara orang mati. Ada lagi yang mengatakan, bahwa Elia telah muncul kembali, dan ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit. Tetapi Herodes berkata: "Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?" Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus” (Luk 9:7-9), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Pemimpin atau pejabat tinggi yang gila akan kekuasaan, pangkat, kedudukan, kehormatan duniawi serta harta benda pada umumnya cemas ketika muncul tokoh-tokoh alternatif yang dinilai mengancam dirinya. Rasanya hal ini pernah terjadi di Indonesia, pada masa Orde Baru, dimana ketika ada tokoh-tokoh demokratis dan vocal maka dengan atau melalui berbagai macam cara tokoh-tokoh tersebut segera dihabisi, disingkirkan; pada masa Reformasi pun juga masih terjadi antara lain dengan kasus Munir, yang sampai kini masih menjadi bahan pengadilan yang sungguh menyita waktu dan perhatian. Dalam warta gembira hari ini diceriterakan bahwa Herodes merasa cemas ketika mendengar bahwa muncul tokoh baru yang lebih besar daripada Elia atau Yohanes Pembaptis, yaitu Yesus, “lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus”.
Entah apa yang menjadi motivasi Herodes untuk bertemu dengan Yesus, apakah ia juga akan menghabisi atau menyingkirkan-nya?.Apakah keingingan tahunya merupakan bagian usaha untuk mencari strategi bagaimana menyingkirkan Yesus? Jika mengingat dan memperhatikan bahwa ia berani membunuh Yohanes Pembaptis demi gengsi dan nama dirinya sebagai raja atau pemimpin, kiranya ia juga bermaksud sama terhadap Yesus. Bercermin dari kisah ini saya mengajak dan mengingatkan para pemimpin atau pejabat tinggi: ketika muncul tokoh-tokoh baru sebagai pembaharu, hendaknya didengarkan dan diterima dengan hati terbuka, jiwa besar dan rela berkorban.
Pembaharuan-pembaharuan cara hidup dan cara bertindak bersama kiranya dibutuhkan, mengingat dan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan yang sedang terjadi. Marilah kita beri kesempatan kepada generasi muda, tokoh-tokoh baru, karena jika tidak memberi kesempatan kepada mereka maka generasi pendahulu hemat saya ‘salah’. Munculnya tokoh-tokoh baru hemat saya merupakan keberhasilan generasi pendahulu, yang dengan kerja keras berusaha mendidik dan membina generasi penerus/muda. Maka jika para pemimpin atau pejabat tinggi masa kini juga ada keinginan tahu perihal munculnya tokoh-tokoh muda sebagai pembaharu, hendaknya keinginan tahu tersebut sungguh tulus , yang berarti pada suatu saat siap mengundurkan diri serta mempercayakan kepemimpinan kepada generasi penerus. Marilah kita hayati pepatah Jawa ini: “Kebo nyusu gudel” (=Kerbau menyusu pada anaknya), artinya orangtua/generasi tua berani belajar dari anak-anak/ generasi muda/penerus.
· “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada.”(Pkh 1:2-4). Kutipan ini rasanya bagus untuk kita renungkan atau refleksikan. Yang dimaksudkan dengan ‘segala sesuatu’ disini kiranya adalah ‘harta benda/uang, kedudukan/pangkat atau jabatan dan kehormatan duniawi’ yang menjadi pujaan dari mereka yang bersikap mental materialistis atau duniawi. Ingat, sadari dan hayati bahwa semuanya itu tidak abadi dan sementara sifatnya, termasuk hidup kita sendiri yang hanya sementara, sebagaimana dikatakan oleh pepatah Jawa “urip iku koyo mampir ngombe” (= Hidup itu bagaikan singgah sejenak untuk minum).
Jika hidup saja hanya sementara, apalagi ‘harta benda/ uang, pangkat/kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi’. Kesia-siaan belaka jika orang mendewa-dewakannya. Hidup, harta benda/uang, pangkat/kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi adalah sarana dan bersifat fungsional, maka hendaknya dihayati dan difungsikan sedemikian rupa sehingga kita semakin beriman, semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, semakin mengasihi dan dikasihi oleh Tuhan maupun sesama kita. Marilah kita hayati dua motto hidup beriman atau menggereja, yaitu “solidaritas dan keberpihakan pada atau dengan yang miskin dan berkekurangan’.
Jika dalam hidup bersama, hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini masih ada yang miskin dan berkekurangan berarti para pemimpin atau pejabat tinggi ‘berusaha dengan jerih payah di bawah matahari’ demi kepentingan sendiri, berarti mengejar kesia-siaan. “Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang” , demikian peringatan pengkotbah. Peringatan ini hendaknya diperhatikan dan dihayati oleh orangtua, generasi pendahulu, antara lain siap sedia ‘untuk pergi’ sambil mempersiapkan anak-anak, generasi penerus untuk mengambil alih sesuai dengan tuntutan zaman.
“Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata: "Kembalilah, hai anak-anak manusia!" Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam. Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu” (Mzm 9:3-6)
Jakarta, 25 September 2008
@Romo Maryo
Klinik Rohani Links :
0 Komentar:
Post a Comment
Setelah dibaca apa anda punya komentar untuk artikel diatas ?
Jika anda merasa tersentuh, terinspirasi, termotivasi dengan artikel ini bagikan bersama kami dengan meninggalkan pesan, kesan atau komentar apa saja.
Semoga komentar anda dapat menjadi semangat bagi yang lainnya.