Minggu Biasa XVII;
Bacaan :
- 1Raj 3:5.7-12;
- Rm 8:28-30;
- Mat 13:44-52
“Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah.”
Sebut saja namanya Br.Petrus (samaran): ia adalah seorang pembesar atau provinsial sebuah Konggregasi Bruder di Indonesia. Sebagai pimpinan ia merasa prihatian dengan permasalahan di dalam Konggregasinya: jumlah panggilan/calon semakin menurun, kwalitas anggota juga mengalami kemerosotan disamping beberapa dari mereka mengundurkan diri. Yang tidak kalah memprihatinkan adalah adanya ketegangan di dalam komunitas-komunitas. Pada suatu hari ia mencari nasihat kepada seorang pastor yang cukup cakap dalam hidup membiara, pakar dalam hal spiritualitas hidup membiara.
Dengan panjang lebar Br.Petrus menyampaikan kepada sang pastor tersebut: masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang ada di dalam Konggregasinya. “Ada sesuatu yang hilang atau menjadi kabur di dalam Konggregasimu, carilah dan temukan kembali!”, demikian tanggapan sang pastor setelah mendengarkan sharing Br.Petrus. “Sesuatu” tersebut tidak lain adalah spiritualitas atau charisma Konggregasi. Memang jika dicermati para anggota Konggregasi tersebut kebanyakan hidup dan bertindak atau bekerja menurut kemauan atau selera pribadi. Spiritualitas atau charisma memang penting di dalam hidup dan cara bertindak, yang dalam aneka organisasi atau paguyuban disebut ‘visi’. Maka marilah kita mawas diri perihal spiritualitas/charisma atau visi lembaga atau organisasi kita masing-masing.
“Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.” (Mat 13:45-46)
Kerajaan Sorga atau Kerajaan Allah berarti Allah yang merajai atau menguasai, yang dalam berbagai lembaga hidup bakti, paguyuban, hidup bersama atau organisasi diterjemahkan menjadi ‘visi’. “Visi adalah motivator yang sangat berpengaruh….
Pernyataan visi:
· Menggambarkan pengharapan akan kehidupan yang lebih baik untuk memberikan tujuan pada proses perjalanannya;
· Menggemakan panggilan yang nyaring untuk mengerahkan pasukan pada misinya;
· Menyalakan api untuk mengilhami dan menggugah mereka agar bertindak;
· Memberikan bukti yang dapat dilihat mengenai komitmen dan prioritas organisasi;
· Menjadi pengingat yang dapat dilihat untuk memfokuskan pikiran dan upaya mereka;
· Menyatukan standar bagaimana organisasi ingin dinilai”
( Dr.Anthony D’Souza SJ : Proactive Visioner Leadership, diterjemahkan dan diterbitkan oleh PT Trisewu Nagawara, Jakarta 2007, hal 97-98)
Apakah hidup atau kinerja kita baik secara pribadi ataupun bersama mengalami kelesuan, kemerosotan atau kemunduran? Jika ya, jangan-jangan ada ‘mutiara yang sangat berharga’ telah hilang dalam hidup pribadi atau bersama, yaitu: spiritualitas, charisma atau visi. Maka marilah kita temukan atau dalami serta hayati lagi spiritualitas, charisma atau visi, yang telah kita pelajari dan harus menghidupi atau menjiwai kita. Spiritualitas, charisma atau visi dasar bagi kita semua kiranya sebagaimana kita ikrarkan ketika dibaptis, yaitu: Mengabdi Tuhan dan menolak semua godaan setan.
Mungkin yang baik kita renungkan, perdalam dan hayati adalah menolak semua godaan setan. Godaan setan antara lain menggejala dalam bentuk “ percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal 5:19-21) Maka marilah ketika kita menghadapi godaan tersebut segera kita perangi dan tolak tanpa syarat. Dengan berani dan berhasil menolak godaan-godaan setan tersebut, kiranya kita dianugerahi kemudahan untuk menghayati spiritualitas, charisma atau visi kita masing-masing, entah secara pribadi atau organisatoris.
Mengabdi Tuhan hemat saya dapat kita wujudkan dengan saling mengasihi, maka saling mengasihi juga dapat kita jadikan spiritualitas, charisma atau visi umum/ bersama. Sekali lagi saya angkat di sini bahwa masing-masing dari kita ada, diadakan/diciptakan dan dibesarkan dalam dan oleh kasih serta kita masing –masing adalah ‘yang terkasih/kasih’, maka saling mengasihi hemat saya dengan mudah dapat kita hayati, karena bertemu dengan siapapun berarti bertemu dengan kasih, kasih bertemu dengan kasih, dan dengan demikian otomatis saling mengasihi. Hidup saling mengasihi berarti juga mengasihi Tuhan, yang telah menciptakan dan mengasihi kita tanpa kenal batas.
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm 8:28-29)
Apa yang dikatakan oleh Paulus kepada umat di Roma di atas ini kiranya juga diarahkan bagi kita semua , orang beriman. “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan”, demikian seruan atau kesaksian Paulus. Karya Allah yang utama kiranya adalah karya penciptaan, dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah baik adanya, dan Ia juga hidup dan berkarya dalam seluruh ciptaanNya. Karya Allah di dalam diri kita manusia, hemat saya harus menjadi nyata dalam diri kita untuk senantiasa berbudaya kehidupan, artinya cara hidup dan cara bertindak kita senantiasa menghidupkan, memberdayakan dan menggairahkan siapapun dan apapun yang ada di sekitar kita atau kita jumpai. Kemana kita pergi kemanapun dan berada dimanapun kita senantiasa berbuat baik atau mendatangkan kebaikan.
Kita dipanggil untuk meneladan Yesus, Pewarta Kabar Baik, kita semua adalah pewarta-pewarta kabar baik. Tentu saja untuk itu kita sendiri harus senantiasa dalam keadaan baik atau hidup dari dan oleh Roh, yang menjadi nyata dengan menghayati keutamaan-keutamaan “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal 5:22-23), sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Pewarta Kabar baik sekaligus Kabar Baik. Kesabaran kiranya keutamaan yang layak kita hayati dan sebarluaskan, yang erat kaitannya dengan kelemah-lembutan dan perngusaan diri, mengingat cukup banyak orang kurang sabar dalam hidup dan cara bertindaknya.
Kekurangan-sabaran itu antara lain nampak (1) di jalanan yang dilakukan oleh para pengendara sepeda motor maupun mobil di kota-kota besar seperti Jakarta , (2) di kalangan muda-mudi dengan pergaulan seks bebasnya, melakukan hubungan seks sebelum pernikahan atau menjadi suami-isteri, (3) di sementara orangtua terhadap anak-anaknya, dst..
“Sabar (adalah) sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan dalam mengendalikan gejolak diri dan tetap bertahan seperti keadaan semula dalam menghadapi berbagai rangsangan atau masalah. Ini diwujudkan dalam perilaku dan sikap yang tenang dalam menghadapi dan menerima apapun. Perilaku ini diwujudkan dalam hubungannya dengan diri sendiri” (Prof Dr.Edi Sedyawati/edit : Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka Jakarta 1997, hal 24). Kesabaran kiranya juga menjadi nyata dalam karya Allah, Sang Pencipta, yang menganugerahi pertumbuhan dan perkembangan dengan proses yang lembut dan terus menerus. Sekali lagi sayang bahwa karya penciptaan tersebut diganggu oleh manusia yang tidak sabar, sebagaimana dalam memelihara tanaman atau binatang dengan suntikan hormon atau obat-obat tertentu untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan, juga perilaku manusia yang melakukan pengguguran , dst..
“Biarlah kiranya kasih setia-Mu menjadi penghiburanku, sesuai dengan janji yang Kauucapkan kepada hamba-Mu.Biarlah rahmat-Mu sampai kepadaku, supaya aku hidup, sebab Taurat-Mu adalah kegemaranku” (Mzm 119:76-77)
Jakarta, 27 Juli 2008
sumber : Romo Maryo
0 Komentar:
Post a Comment
Setelah dibaca apa anda punya komentar untuk artikel diatas ?
Jika anda merasa tersentuh, terinspirasi, termotivasi dengan artikel ini bagikan bersama kami dengan meninggalkan pesan, kesan atau komentar apa saja.
Semoga komentar anda dapat menjadi semangat bagi yang lainnya.