Jayanya suatu kebangkitan
Kebangkitan Yesus memancarkan cahaya terang benderang terhadap seluruh sejarah dunia. Kebangkitan-Nya menerangi bukan cuma kematian-Nya, melainkan mencurahkan sinar terhadap segala pengalaman kelam, pekat duka nestapa kehidupan manusia di atas dunia ini. Kebangkitan Yesus adalah keperkasaan Cinta atas kejahatan, dan kemenangan Seorang Allah yang mengasihi dan disergap belaskasihan; Allah sang Cinta, Hidup, Pengampunan dan Penyembuhan. Memang kebangkitan Yesus tidak meniadakan semua pertanyaan-pertanyaan hidup ini, akan tetapi ia membuat kita punya cakrawala pandangan segar penuh harapan akan kehidupan. Kebangkitan-Nya memperteguh keyakinan manusia bahwa hidup ini sama sekali tidak memperolok-olok dan menipu kita, melainkan bahwa ia punya makna, yang malah teramat mendalam.
Visi yang konsisten
Menjelang akhir hayatnya, Mgr. Jim Cuskelly mempersembahkan satu buku kecil yang berjudul: "Walking the Way of Jesus. An Essay on Christian Spirituality." Ia menekankan pentingnya pewahyuan bahwa Allah adalah Cinta dalam spiritualitas kita. Allah sedemikian mencintai dunia sehingga merelakan Anak-Nya sendiri untuk mendamaikan kita dengan diri-Nya. Mgr. Cuskelly menegaskan bahwa kita perlu mempunyai suatu visi hidup yang konsisten dengan prinsip dasar spiritualitas ini. Walaupun kadangkala kita menemukan di dalam Kitab Suci atau pun dalam bahasa liturgi presentasi antropologis tentang Allah yang nampaknya kontradiksi dengan gambaran Seorang Allah yang mencintai dan mengampuni, kita musti selalu dan di mana pun menafsirkan pewahyuan Allah sebagaimana nyata di dalam kematian Yesus, yakni Seorang Allah yang mengosongkan diri-Nya karena cinta-Nya terhadap umat manusia. Jadi bilamana kita membaca dalam liturgi, "Allah menghukum", kita dengan tegas mengoreksinya, "Allah tidak menghukum!" Keyakinan ini pasti membawa gema yang hebat dalam perjalanan pribadi iman kita untuk menghayati perintah agung cinta persaudaraan dan mengekang kecenderungan untuk berdosa dalam segala manifestasinya.
Tuhan terlibat dalam sejarah manusiawi
Guna mencari dan menyelamatkan manusia, Allah secara pribadi terjun ke dalam sejarah manusia melalui Yesus. Ia terlibat dengan kita melalui sabda dan tindakan. Ia menyamakan diri dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa, sampai puncak komitmen cinta-Nya kepada kita. Ia menggulung si jahat melalui kepatuhan penuh kasih terhadap Bapa hingga kematian dan kebangkitan-Nya. Ia mengalahkan kejahatan melalui api cinta-Nya yang membara dan membuka bagi kita jalan kehidupan. Ketika datang ke dunia untuk mencari umat Allah yang tercerai-berai, "Yesus berkata, 'Tuhan, inilah aku! Aku datang untuk melakukan kehendakmu.'… Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus." (Ibr 10:5-10). Penebusan merangkum seluruh hidup Yesus, dari masa kanak-kanak, masa muda, masa dewasa, masa hidup di depan umum sampai tujuan akhir-Nya. Di dalam dan melalui pengalaman manusiawi sepenuh-penuhnya ini, Yesus menembus secara baru (dipenuhi Roh) lubuk hati manusia. Ia ambil bagian dalam kecemasan-kecemasan dan keluh-kesah manusia di dunia, menghidupi semuanya dalam persekutuan mesra dengan Bapa-Nya. Dan dari situ Ia mengangkat dan menebus manusia masuk ke dalam kerajaan keadilan, cinta dan damai Allah. Ia sungguh-sungguh seorang manusia sepenuh-penuhnya dan kita semua diundang untuk ambil bagian di dalam kepenuhan-Nya itu.
Berapa harga tebusan kita?
Jika kita dibebaskan di dalam dan melalui seluruh hidup Yesus, baik tindakan maupun kata-katanya, mengapa kita sering bicara tentang ditebus oleh Salib-Nya, oleh Darah-Nya, oleh Sengsara dan Wafat-Nya? Hal-hal inikah "harga" yang mesti dibayar Yesus untuk dosa-dosa kita? Analogi "membayar hutang hukuman karena dosa", yang diambil dari dunia pengadilan sipil, sesungguhnya adalah analogi berbahaya, seperti ditegaskan oleh Uskup Cuskelly dengan begitu jelas. Karena ia mengkhianati isi kabar gembira tentang keselamatan kita di dalam Yesus. Kitab Suci memang bicara tentang harga yang dibayar untuk membebaskan kita (1Kor 6:20; 7;22-23; 1 Petr 1:18-21; 2Pet 2:1). Akan tetapi apa yang mau disampaikan melalui ungkapan-ungkapan itu adalah untuk membebaskan kita dari perbudakan dan mendamaikan kita dengan Allah, Yesus membayarnya dengan suka rela, dengan hidup-Nya sendiri, dengan menumpahkan darah-Nya (Kis 20:28; Ef 1:7; Ibr 9:12; Why 1:5; 5:9). Yesus bukan dikutuk dan dihukum Allah. Motivasi sebenarnya di balik penderitaan-Nya bukanlah balas dendam Allah yang ditimpakan pada-Nya, melainkan cinta Allah. Ia mengutus anak-Nya ke dalam dunia atas kehendak-Nya agar Ia menjadi satu sama seperti yang terkecil dari antara bangsa manusia yang paling terbiar, dari pada menuntut segala hak istimewa-Nya. Inilah maksud St. Paulus ketika ia berkata bahwa "Allah tidak menyayangkan anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkan-Nya bagi kita semua" (Rom 8:32) dan St. Yohanes ketika ia mencatat bahwa Yesus "senantiasa mencintai mereka yang merupakan milik-Nya di dunia, demikian sekarang Ia menunjukkan betapa sempurna kasih-Nya (Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.)"(Yoh 13:1).
Memandang Dia Yang Kita telah tikam
Bagi orang Yahudi, salib adalah simbol kutukan Allah. Bagi setiap orang, salib adalah sarana hukuman maut paling kejam dan memalukan yang ditimpakan oleh bangsa Romawi. Bagi kita salib adalah simbol penebusan karena cinta Yesus kepada kita "sampai kepada kesudahannya". Marilah kita coba merenungkan sedikit lebih jauh doktrin tentang penebusan ini secara konsisten (sejalan) dengan prinsip cinta Allah terhadap bangsa manusia dan seluruh dunia ciptaan Allah. Suatu pemahaman yang tepat tentang penebusan membangun bagian yang penting spiritualitas kristiani kita, khususnya misteri kita sebagai MSC. Pada salib nampak ketaatan Yesus menjadi sempurna, karena di situ cinta-Nya mencapai puncaknya. Salib bukanlah suatu peristiwa buruk sampingan dalam perjalanan-Nya menuju untuk membebaskan kita. Salib memamerkan dahsyatnya cinta Yesus dan kedalaman misteri inkarnasi. Dengan memberikan hidupnya bagi kita, Yesus mendorong kita untuk percaya akan cinta-Nya, mendorong kita menuju hati-Nya. SabdaNya yang terakhir di salib, "sudah selesai", merupakan tonggak awal pencurahan Roh dan perobekan lambung-Nya karena tikaman tombak serdadu. Dengan memandang Dia yang kita tikam dan percaya kepada-Nya, yang menang atas dosa dan maut seperti dinyatakan dalam kebangkitan-Nya, kita pun dibangkitkan kembali secara mengagumkan, melalui karunia murni Allah, tanpa jasa di pihak kita. Kita menerima karunia Hidup Baru di dalam Roh Kudus dan kita belajar berjalan di jalan yang telah diajarkan-Nya kepada kita.
Makna penderitaan
Kedatangan Allah melalui Yesus untuk mencari putera-puteri-Nya yang tercerai-berai, bermaksud untuk menjungkir-balikkan paham tentang Allah sebagai Pribadi yang butuh dipuaskan dengan korban, supaya berkenan mengesampingkan balas dendam yang telah direncanakan-Nya untuk memporak-porandakan bangsa manusia. Yesus menghadirkan Allah sebagai Pribadi yang berinisiatif mencintai dan mencurahkan belas kasihan. Penderitaan bukanlah suatu hukuman atas dosa, pun bila kisah kitab Kejadian dan buku-buku sejarah Perjanjian Lama menafsirkannya demikian. Yesus berkarya untuk mengentaskan penderitaan melalui pelayanan mengajar dan menyembuhkan. Dia ingin menyembuhkan orang-orang dan meringankan beban mereka, namun bukan dengan tongkat sihir. Salib tertanam kuat-kuat dalam struktur dunia ini apa adanya dan Yesus mengundang para pengikut-Nya untuk menerima kenyataan ini. Salib adalah simbol dari semua bentuk ketidak-adilan, yang membawa penderitaan yang menyengsarakan dan tak terelakkan di dalam dunia ini. Keletihan dan rasa sakit adalah bagian dari misteri kehidupan, sisi negatif dari suatu kenyataan yang secara mengagumkan bersifat positif, karena terbuka ke arah pertumbuhan dan kedewasaan meski lewat derita itu sendiri. Dalam pelayanannya untuk mengatasi rasa sakit dan kesengsaraan di dalam dunia ini yang diakibatkan ketidakadilan dalam segala bentuknya, Gereja dapat dikatakan memiliki misi "menurunkan manusia tersalib dari salib" (Sobrino). Karena itu misi Gereja bukanlah pertama-tama membasmi salib dari dunia. Gereja dipanggil untuk mengikuti jalan Yesus. Ketika menjadi manusia, Ia merangkul erat-erat salib, tatkala mengenakan kondisi manusiawi, sehingga Dia mengalaminya sepenuh-penuhnya, termasuk getirnya penderitaan manusia. Saya menyukai kalimat dari Gaudium et Spes 38, yang menyatakan bahwa salib ditanam sedalam-dalamnya pada setiap makhluk manusia sebagaimana ia ditanam pula sampai ke akar-akar sejarah manusia: "Teladan Kristus yang mati untuk kita, kaum pendosa, mengajar kita bahwa kita harus memikul salib, yang dipanggulkan oleh kedagingan dan dunia ini pada bahu semua orang yang mencari keadilan dan kedamaian.
Melakukan Silih
Karena mengikuti teladan Yesus kita turut berkarya "memulihkan" kehidupan manusiawi dan dunia bagi Allah. "Silih benar yang dikehendaki Hati Sang Penebus terlaksana apabila kebudayaan Hati Kristus dapat ditegakkan di atas puing-puing kehancuran yang ditimbun oleh kebencian dan kekerasan" (Paus Yohanes Paulus II, Surat kepada P. Kolvenbach). Melalui partisipasi kita ke dalam misteri paskah, di dalam Ekaristi dan di dalam peristiwa setiap hari, "karya penebusan kita dilaksanakan" (liturgi Romawi). Melalui iman kita akan Yesus, penderitaan bagi kita berfungsi juga sebagai sumber pemurnian dari semua kelekatan terhadap dosa dan sumber pertumbuhan di dalam persekutuan dengan-Nya. Bahkan nampaknya terdapat suatu hukum tersembunyi dalam karya kerasulan, di mana kuasa Yesus sangat terasa berkarya justru di dalam kelemahan dan kesulitan kita. Maka dari itu karya penebusan terus mengalir di dalam dan melalui Gereja, Tubuh Kristus: "Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat."(Kol 1:24).
"Ia mengasihiku dan menyerahkan diri-Nya untukku"
Seharusnya sekarang sudah jelas, namun pantas untuk ditekankan lagi bahwa penyerahan diri dan pegorbanan Yesus yang menyelamatkan, sering di dalam Perjanjian Baru secara eksplisit dihubungkan dengan cinta-Nya kepada kita dan Bapa-Nya (lih. Gal 2;20; Ef 5:2.25; Yoh 10:11.17; 13:1; 1 Yoh 3:16). Ini merupakan suatu aspek penting dari misteri seorang Misionaris Hati Kudus Yesus. Kita masing-masing di dalam Gereja, tatkala merayakan Ekaristi diundang untuk berpartisipasi secara intens di dalam misteri cinta ini: "Inilah tubuhku, yang dikurbankan bagimu." Maksudnya, kita beralih bersama-Nya dari kematian ke kehidupan, dari alienasi kepada makna, dari suatu cara hidup yang sia-sia ke dalam cara hidup baru, suatu hidup yang penuh kegembiraan karena pembebasan dari dosa dan kematian, penuh cinta di dalam pengenalan kita akan "tubuh", bukan cuma di dalam Ekaristi tetapi juga di dalam orang lain, di dalam saudara dan saudari kita. Semoga kegembiraan itu menjadi milik kita sepenuh-penuhnya pada Paskah dan semoga rahmat itu memampukan kita untuk hidup lebih penuh lagi, lebih lagi menjadi misionaris cinta dan pengampunan yang sungguh tulus: Misionaris Hati Kudus Yesus. Karena kita adalah Manusia Paskah dan Alleluia adalah nama kita!
Roma, April 2000
Michael Curran msc
Pemimpin Umum
0 Komentar:
Post a Comment
Setelah dibaca apa anda punya komentar untuk artikel diatas ?
Jika anda merasa tersentuh, terinspirasi, termotivasi dengan artikel ini bagikan bersama kami dengan meninggalkan pesan, kesan atau komentar apa saja.
Semoga komentar anda dapat menjadi semangat bagi yang lainnya.