24 August 2008

Posted by ShureX Posted on August 24, 2008 | No comments

ISTANA KIYARANA

Cerpen Miranda Putri

Aku masih camar putih jika suatu ketika kau tanyakan lagi padaku. Mungkin tak elok seperti tiga belas tahun lalu saat pertama kali aku mulai pandai terbang tinggi. Bernyanyi mengitari bukit-bukit kecil Sewidari di sekitar pegunungan Bidadari, menanti hangatnya mentari pagi, dan turun rendah menjelang senja hari. Memang, kini aku tak seputih gading sepert dulu sering kau panggil aku. Dan tak seputih bulu angsa yang berkilau terbias cahaya matahari.

"Aku iri padanya."

"Kenapa?" Kiyarana tetap memandang anak laki-laki yang tidur di dekat kakinya.

"Sebab, kau sangat menyayanginya. Aku ingin kau menyayangiku selembut itu."

Kiya tersenyum kecil. Ia terus membelai lembut anak itu. Matanya telah
terpejam. Wimar menatap Kiya.

"Mereka sangat membutuhkan."

"Aku juga!"

"Aku bukan Kiyarana yang kau kenal dulu."

Kiya membetulkan posisi tidur anak itu. Ia bangkit menutup gorden jendela yang masih terbuka.
"Aku tahu dan aku ingin merajutnya kembali."

"Ah, Wim, kau tak paham."

Bukankah kau tahu, sayapku telah patah. Namun, dalam luruh, aku tetap camar putih. Yang terbang meski dengan kepak yang tak tegak lagi, menembus mega. Di atas lautan terbentang, di bawah kaki langit menjulang. Terus terbang di luasnya cakrawala yang ketika tersentuh senja akan bersenggama melahirkan lembayung jingga mengilau perak.

Dan, terus terbang bersama desau angin membisikkan kidung harap yang sapuan lembutnya membalut luka camar yang mengepak letih, sebab sayap-sayap retak bertambal sulam rindu dan asa itu telah purba dan semakin hari semakin terkikis.

Matahari telah jatuh ke sebelah barat bumi. Wim meninggalkan kantor. Kepenatan menjejali kepalanya. Ia meluncur ke Panti Kasih Bunda. Yang dibutuhkannya saat ini adalah bersama Kiyarana. Entahlah, menatap matanya Wim merasakan keteduhan. Kiya memandang sebentar kehadiran Wimar. Lalu meneruskan kembali rajutannya. Di tangannya sebuah mantel anak-anak sudah hampir jadi.

"Buat Alif. Bagaimana menurutmu?" Kiya memperlihatkan hasil karyanya pada Wim.

"Wajahmu pucat Kiya."

"Setiap hari aku memang seperti ini."

"Tapi kamu juga harus menjaga kondisimu. Istirahatlah kalau anak-anak tak mengganggumu. Kamu masih terus kontrol, kan, Kiy?"

Kiya terus merajut. Semua persoalan sama saja buatnya kini. "Dokter bilang aku baik-baik saja."

"Ya, Asal kau banyak istirahat, percayalah kau pasti sembuh, Kiya."

Wim memberi semangat. Kiya menggulung benang wolnya. Operasi pengangkatan sel kanker di dinding rahimnya tiga bulan lalu memang sedikit memperpanjang usianya.

"Kenapa kita tidak menikah?"

Kiya menarik napas dalam, menatap pada bola hitam sederhana itu. "Untuk apa. Tak perlu menambah persoalan. Biarlah keadaan seperti ini tetap menjadi milikku."

"Setidaknya beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku. Andai saja aku...."

"Sssstt!" Kiya meletakkan jarinya di bibir Wimar dan membiarkan Wim meraih jemari itu. Saat dikecup, Kiya rasakan betapa ketulusan kasih itu membawa Wimar ke telaga tandusnya.

Semua sudah berlalu, tak ada yang harus disesali. Ini bukan salahmu. Aku juga bukan pahlawan, Wim, meski aku korbankan seluruh hidupku untuk menyelamatkan jeratan hukum yang akan menimpa papaku. Sejak kuputuskan menerima persyaratan pembebasan papaku dengan Mr Kayo Tsutziko, pengusaha export-import dan jasa kredit yang menjerat leher dari Jepang itu, aku memilih untuk pergi darimu. Semua tentangmu.

Hanya papakku yang masih kumiliki, setelah kecelakaan pesawat 18 tahun lalu telah merenggut mamaku. Kasih sayang, hidup melimpah dan kebahagiaan yang tercurah untukku selama ini, apakah tak cukup alasan bagiku untuk sedikit saja berkorban, agar laki-laki yang telah senja itu tak menghabiskan sisa hidupnya dalam sel tahanan yang sangat tak layak bahkan untuk seekor lalatpun.

Manusia seringkali tidak adil. Aku memberikan utuh diriku sebagai seorang istri meski aku tak mencintai Kayo. Tapi bagi Kayo itu tak sebanding dengan uang yang ia keluarkan. Meski papa selamat, tapi ia sangat menderita. Sebab meski rapat aku menutupi, papa tahu betul aku tak bahagia dan diperlakukan tak baik oleh Kayo. Papa sakit-sakitan dan meninggal dunia dua tahun kemudian di rumah kontrakannya.

Sebenarnya hargaku bukanlah 10 miliar, jika Kayo beranggapan bisa menguasaiku setelah ia menikahiku sebab kami tak sanggup melunasi hutang-hutang itu. Sampai kapanpun angka takkan mampu bersejajar dengan harga diri. Tapi Kayo tak punya nurani itu, Wim. Bahkan hargaku lebih rendah dari wanita-wanita di rumah bordil berkelas international, yang menjadi korban sindikat penjualan perempuan, salah satu bisnis gelapnya yang berpusat di Jepang, juga selain money laundry di beberapa akses banknya.

"Kenapa nggak dimakan, Alif?" Titis mendekati Alif, anak asuh paling kecil di antara yang lain. Ia cuma menggeleng-geleng.

"Alif mau sama mbak." Suara kecilnya manja. Alif dekat sekali dengan Kiya. "Kenapa, Sayang?"

Kiya sudah berdiri di pintu. Menghampiri Alif, langkahnya pelan. Wajahnya sayu, rautnya menyimpan penderitaan terdalam sepanjang hidupnya. Rambutnya menipis sebab efek terapi yang harus dijalaninya. Malam ini tubuhnya lemas bukan main. Tapi seperti seorang ibu ia dapat merasakan kegelisahan anaknya.

Kiya juga menemani anak-anak belajar. Alif hanya mencoret-coret kertas dengan krayon. Sesekali ia tunjukkan pada Kiya hasil coretannya. Kiya tersenyum. Ia merasakan nyeri pada perutnya. Nyeri yang kerap datang. Ia paham kanker ganas yang menyerang dinding rahimnya, diperkirakannya sudah mulai masuk stadium empat.

Seharian ini Kiya tak keluar kamar. Setelah meminum obat, Kiya merebahkan tubuhnya yang sudah setipis itu di atas kasur. Matanya yang telah pudar sinar dan berkantung hitam, nanar menatap langit-langit kamar. Napasnya berat menahan sakit luar biasa di bawah perutnya. Matanya terpejam. Kiya mengejang. Butiran bening itu mengalir di sudut mata cekungnya. "Kuatkan aku, Tuhan!"

Seperti Engkau beri aku kekuatan untuk melalui hari-hari selama sepuluh tahun ini. Sejak menjadi istri Kayo, yang aku rasakan hanya kekerasan dan penghinaan. Kiya meraba bekas penganiayaan yang dilakukan Kayo terhadapnya, yang ternyata seorang Masomasochis. Bekas yang menjadi saksi betapa penderitaan hanya seperti mainan dalam perjalanan hidupnya. Setelah puas memeras seluruh keindahan Kiyarana, Kayo melemparnya masuk kelembah pelacuran. Kiya masuk dan tak dapat melarikan diri. Semua di bawah pengawasan kaki tangan Kayo yang kerap menjarah tubuhnya juga. Semua akses dan rekening atas namanya ditutup, sebab segala keperluannya sudah disediakan.

Kiya bertemu dengan cukong dari Malaysia, Mr Marwan, seorang pengusaha textil dan garmen terbesar, pemilik perkebunan kelapa sawit di atas tanah 5000 hektar dan salah satu pemegang saham terkuat pada perusahaan properti dan real estate di Singapure, Filiphina dan Taiwan.

Ketika ke Jepang, Marwan mem-booking-nya selama satu minggu, sebab merasa sangat cocok. Sejak itu setiap kali ke Jepang, Mr Marwan selalu minta ditemani Kiya, bahkan seringkali sampai beberapa bulan Kiya dibawa keliling negara. Kayo tak membiarkan kesempatan ini. Ia memasang tarif lima kali lipat untuk Kiya, juga untuk melicinkan bisnis kerja samanya. Seingatnya, sepanjang perjalanan menjadi wanita penghibur selama bertahun-tahun, baru Marwanlah yang memperlakukan Kiya layaknya seorang wanita. Tapi, Kayo licik. Sehingga, mau tak mau Marwan menjual sebagian saham terbesarnya di Singapure untuk membeli Kiya dan membawanya pergi dari Jepang.

Kiya tak tahu apakah jatuh ketangan Marwan jauh lebih baik. Bagi Kiya yang terpenting dalam hidupnya kini adalah lepas dari Kayo. Ia tinggal di istana yang dibeli Marwan atas namanya dan deposito dalam jumlah besar untuk kebutuhan hidupnya. Kiya tahu meski Marwan sangat menyayanginya, ia bukan satu-satunya wanita dalam hidupnya.

Kiya menjadi seorang nyonya. Tapi, selama tiga tahun tinggal di Malaysia, Kiya tak pernah lagi menemani Marwan dalam perjalanan bisnisnya keliling dunia. Namun, bagi Kiya tinggal di rumah jauh lebih menyenangkan hatinya. Hanya saja semakin hari Kiya semakin kesepian. Sampai suatu saat Kiya jatuh sakit. Menyadari sakitnya sangat serius, Kiya memohon pada Marwan untuk membawanya kembali ke Indonesia.

"Kalau sampai di ujung waktu, aku ingin berada di negeriku, bersama anak-anak."
Kiya tak menginginkan istana itu. Ia kembalikan lagi pada Marwan. Saat ini Kiya hanya ingin tinggal dalam istana hatinya menghabiskan sisa hidupnya. Marwan hanya bisa memaksa deposito itu tetap atas nama Kiya untuk bekal hidup dan berobat. Marwan tak mengerti, Kiya tetap memilih untuk tinggal bersama anak-anak di panti asuhan.

Marwan sering mengunjungi Kiya. Membujuknya untuk mau berobat ke luar negri. Tapi, Kiya selalu menolak. Dan setahun belakangan ini, Marwan tak memberi kabar lagi. Kiya tak berusaha menghubungi. Biarlah, pikir Kiya, sudah begitu banyak pengorbanan yang Marwan berikan padanya.

Setelah sekian lama, saat kau datang ke panti ini, aku melihatmu masih seperti dulu, Wim. Biarkan saja, mungkin pertemuan kita hanya sesingkat ini dan cerita kita hanya sepenggal ini. Tapi, jadikan segala yang singkat ini lebih berarti.

Maka, jangan tanyakan lagi kenapa luka menganga dan jangan tanya sebab camar teteskan darah dan air mata. Tanyakan saja tentang bagaimana kepaknya melintasi badai.

Jika hidup jauh lebih berarti, untuk apa memilih mati yang sia-sia. Tapi, Wim sayangku, beriring dengan waktu memacu, semakin aku pahami bahwa kematian juga pada akhirnya adalah sebuah pilihan. Dan setiap pilihan pasti dengan penuh pertimbangan. Tapi, satu hal yang pasti kematian bukankanlah kehancuran.

Lalu ada apa dengan kematian? Kematian cuma jalan singkat melewati batas untuk menuju kehidupan lain yang lebih abadi. Mengapa takut pada keindahan yang belum pernah kita rasakan? Kita hanya perlu sedikit keberanian untuk melewati lintas batas itu.

Dan, aku tak ingin mati sia-sia. Tapi, ternyata itulah pilihanku, karena dapat aku rasakan kematian akan menyentuhku. Takdir menyapaku lagi dengan alur lain yang tak dapat kuhindari. Namun, bolehkah kutanyakan sesuatu, meski jawaban sudah tak penting lagi buatku. Jika masih, di sudut manakah aku ada di hatimu?

Kiya tak menangis, tubuhnya tak bergerak. Rasa sakit menghilangkan kesadarannya. Di dunia komanya kini ia tahu, tak sampai fajar tiba esok, ia akan benar-benar pergi. Meninggalkan tubuh rapuh yang tergeletak kaku.
Jakarta, 12 Maret 2005

Thanks & Regards,
Mulhammah


0 Komentar:

Post a Comment

Setelah dibaca apa anda punya komentar untuk artikel diatas ?
Jika anda merasa tersentuh, terinspirasi, termotivasi dengan artikel ini bagikan bersama kami dengan meninggalkan pesan, kesan atau komentar apa saja.

Semoga komentar anda dapat menjadi semangat bagi yang lainnya.

  • Text Widget