16 August 2008

Posted by ShureX Posted on August 16, 2008 | No comments

Renungan 16 Agustus 2008

“Ia meletakkan tanganNya atas mereka”


Bacaan :
  • Yeh 18:1-10.13b.30-32;
  • Mat 19:13-15
“Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ” (Mat 19:13-15), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

Anak adalah anugerah Tuhan atau buah kasih orangtua/suami-isteri yang saling mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh/kekuatan. Suami dan isteri kiranya saling menyadari dan menghayati bahwa pasangan hidupnya merupakan anugerah Tuhan, kado istimewa dari Tuhan, maka anak yang lahir dari relasi kasih mereka adalah anugerah Tuhan. Maka selayaknya anak-anak kemudian ‘dibawa’ atau dipersembahkan kembali kepada Tuhan, dan secara konkret anak-anak dibina, dididik dan dibesarkan dalam dan oleh kasih, sebagaimana mereka ada dan lahir karena kasih. Maka benarlah dan harus kita hayati sabda Yesus :”Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga”.

Anak-anak lebih suci dari pada orangtuanya atau orang-orang dewasa, dan di dalam Kerajaan Sorga atau hidup beriman mereka yang lebih suci yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilayani. Marilah kita hormati, junjung tinggi dan layani anak-anak, entah anak-anak kita sendiri maupun orang lain. “Yang diperlukan oleh anak-anak adalah seperangkat tanda dan acuan, yang waktu masih kecil, menjamin rasa aman dan terlindung dan perahu yang sesuai untuk belajar berkayuh sewaktu air masing tenang. Selanjutnya kesempatan berkayuh di air yang keruh agar kelak mampu menghadapi semudera dewasa yang penuh ngeri. Tanda dan acuan yang diperlukan anak-anak yang menjadi hutang orangtua, adalah nilai – yang bagi kita sendiri terbukti menjadi pegangan dan patokan…(Nilai-nilai itu adalah) kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri/potensi, disiplin diri/tahu batas, setia/dapat dipercaya, hormat, cinta/kasih sayang, peka/tidak egois, baik hati/ramah, adil/murah hati” (Linda @ Richard Eyre: Mengajarkan Nilai-nilai kepada anak, PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal xv. xxvii) Anak-anak balita sangat rentan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, maka hendaknya orangtua sungguh memperhatikannya, lebih-lebih ibu hendaknya memberi ASI yang memadai (minimal selama 6 bulan, syukur lebih), antara lain dengan dan melalui keteladanan atau kesaksian akan nilai-nilai tersebut di atas.

“Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya! Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati.Kalau seseorang adalah orang benar dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, dan ia tidak makan daging persembahan di atas gunung atau tidak melihat kepada berhala-berhala kaum Israel, tidak mencemari isteri sesamanya dan tidak menghampiri perempuan waktu bercemar kain, tidak menindas orang lain, ia mengembalikan gadaian orang, tidak merampas apa-apa, memberi makan orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang, tidak memungut bunga uang atau mengambil riba, menjauhkan diri dari kecurangan, melakukan hukum yang benar di antara manusia dengan manusia, hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap mengikuti peraturan-Ku dengan berlaku setia -- ialah orang benar, dan ia pasti hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH” (Yeh 18:4-9)

Kutipan di atas ini selayaknya menjadi permenungan atau refleksi kita, baik bagi orangtua maupun anak-anak. Semuanya adalah milik atau anugerah Tuhan, itulah kebenaran iman yang harus kita hayati dan sebarluaskan. Maka baiklah kita senantisa ‘melakukan keadilan dan kebenaran’ dalam hidup dan cara bertindak kita setiap hari, dimanapun dan kapanpun.

Keadilan dasar adalah menghormati, menjujung tinggi dan menghargai harkat martabat manusia, tidak melecehkan atau merendahkan sebagaimana difirmankan kepada nabi Yehekiel di atas. Apa yang disebut benar atau baik senantiasa berlaku umum, universal, antara lain keselamatan jiwa. Hendaknya yang menjadi pedoman atau acuan hidup atau cara bertindak kita adalah keselamatan jiwa, bukan kesuksesan dalam hal ekonomi, pangkat, kedudukan atau jabatan. Maka dimana ada kemungkinan lebih banyak jiwa dapat diselamatkan ke situlah kita dipanggil dan diutus.
“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku! Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu “(Mzm 51:12-15)

Jakarta, 16 Agustus 2008


sumber : Romo maryo

Categories:

0 Komentar:

Post a Comment

Setelah dibaca apa anda punya komentar untuk artikel diatas ?
Jika anda merasa tersentuh, terinspirasi, termotivasi dengan artikel ini bagikan bersama kami dengan meninggalkan pesan, kesan atau komentar apa saja.

Semoga komentar anda dapat menjadi semangat bagi yang lainnya.

  • Text Widget