Ketika masih tinggal di kampung, saya sering mendengar lagu - lagu merdu yang dimainkan seorang pengamen tua menggunakan harmonikanya. Pak Slamet, nama pengamen itu, adalah orang yang sederhana. Walau begitu, ia selalu tampil rapi dengan baju bersih yang dimasukkan. Rambutnya dipotong pendek dan tersisir lurus ke belakang.
Ia biasanya berdiri di depan pintu dengan sikap tegak seperti orang mengheningkan cipta, lalu mulai memainkan harmonikanya. Matanya berkali - kali terpejam saat mengalunkan nada-nada yang mengalir seperti air, tanda ia sungguh kusyuk menyampaikan lagunya.
Meski tak mengerti lagu apa yang dimainkan Pak Slamet, kesungguhannya bermain harmonika telah menarik saya untuk mengetahui apa yang dia lantunkan. Dalam salah satu kesempatan, saya bertanya, "Pak, itu lagu apa?"
Ia menjawab dalam bahasa Jawa halus, yang kira - kira terjemahannya demikian: "Ini adalah lagu agar orang-orang yang mendengarnya menjadi tenteram dan damai. Banyak orang tidak tenteram karena pikiran. Semoga saya bisa membantu menenteramkan mereka."
Jawaban itu sungguh tidak saya sangka - sangka. Tadinya saya mengira akan mendapat jawaban bahwa lagu itu lagu Jawa kuno, atau lagu pop masa lalu. Ternyata dugaan tersebut meleset. Bagaimana mungkin orang tua ini memiliki pemikiran seperti itu? dalam hati kubertanya.
Tapi saya, yang waktu itu adalah seorang mahasiswa dengan pengetahuan maha luas, yang percaya hanya tindakan besarlah yang bisa mengubah dunia, kembali melontarkan pertanyaan dengan nada sedikit melecehkan, "Lalu sudah sampai mana Pak Slamet menyebarkan ketenteraman itu? Sudah berapa orang yang mendengarnya dan sembuh dari kegalauan hidupnya?"
Ia menjawab tersenyum, "Hanya pada beberapa orang yang rumahnya saya lewati di sekitar sini. Semoga ada satu atau dua di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu saya, walau tidak bagus saya memainkannya. Syukur kalau kedamaian itu ditularkan."
Jawaban tersebut menunjukkan betapa besar hatinya dan membuat kecut hatiku. Dalam kesederhanaannya, pengamen tua itu memberikan apa yang bisa disumbangkan bagi orang lain. Tampaknya remeh, karena lagu - lagunya hanya dihargai seratus perak dan hanya didengar oleh segelintir orang di sebuah wilayah kecil. Tapi ketulusan dan kesungguhannya dalam memberi, bernilai jauh lebih tinggi dari itu.
***
Bertahun - tahun kemudian, tepatnya beberapa hari lalu ketika sedang membaca koran mengenai bencana tsunami, saya menyadari keponakanku terus menerus memandangi deretan nama - nama penyumbang dan jumlah yang mereka berikan bagi korban bencana di halaman lain koran.
Keponakan yang masih kecil itu kemudian bertanya, "Ndrong (dari kata gondrong, panggilan saya di rumah), kalau nyumbangnya sedikit, namanya ditulis nggak?"
"Ya ditulis juga," jawabku, sambil menduga anak ini pasti ingin menyumbang agar namanya masuk koran.
Di luar perkiraan, jawaban itu justru membuat raut mukanya kecewa. Saya tahu sebabnya setelah dia melanjutkan, "Aku cuma punya uang sedikit. Malu kalau namanya ditulis. Kalau aku nyumbang sedikit, nggak bisa buat nolong mereka ya?"
Saat itu juga bayangan Pak Slamet terlintas. Kata-katanya, "...Semoga ada satu atau dua di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu saya, walau tidak bagus saya memainkannya..." seolah terdengar lagi.
Teringat kalimat itu, dengan haru saya katakan pada keponakan saya, "Akan ada satu atau dua orang yang tersambung hidupnya karena sumbangan adek, walau hanya sedikit yang adek berikan. Yang sedikit itu tidak sia - sia karena akan menjadi banyak saat dikumpulkan bersama."
Sebagai catatan, kisah mengenai Pak Slamet sering saya ceritakan kepada teman - teman yang merasa putus asa karena usaha mereka menyerukan perdamaian dirasa sia - sia. Usaha mereka memerangi korupsi seolah tak ada artinya. Usaha menegakkan keadilan seperti tak ada hasilnya.
Saya katakan, bila dilihat dari besar kecilnya yang dilakukan, usaha Pak Slamet membagi kedamaian serasa sia - sia, seperti juga perasaan kita saat kita memperjuangkan sesuatu sendirian atau dalam skala kecil. Tapi walaupun kecil, apa yang dilakukan dengan sungguh - sungguh mungkin bisa menggerakkan orang lain, seperti pengamen tua itu telah menggerakkan saya menceritakan hal ini, walau --sekali lagi-- cerita ini hanyalah cerita biasa yang tampak sia - sia.
Namun dalam apa yang sering kita anggap sia - sia, sebenarnya tersimpan harapan karena orang - orang lain barangkali memiliki pemikiran sama. Maka tepatlah kata - kata John Lennon dalam lagunya, Imagine: "You may say I'm a dreamer... but I'm not the only one, I hope someday you'll join us, and the world will live as one..."
Sumber : KCM - 6 Januari 2005
Ia biasanya berdiri di depan pintu dengan sikap tegak seperti orang mengheningkan cipta, lalu mulai memainkan harmonikanya. Matanya berkali - kali terpejam saat mengalunkan nada-nada yang mengalir seperti air, tanda ia sungguh kusyuk menyampaikan lagunya.
Meski tak mengerti lagu apa yang dimainkan Pak Slamet, kesungguhannya bermain harmonika telah menarik saya untuk mengetahui apa yang dia lantunkan. Dalam salah satu kesempatan, saya bertanya, "Pak, itu lagu apa?"
Ia menjawab dalam bahasa Jawa halus, yang kira - kira terjemahannya demikian: "Ini adalah lagu agar orang-orang yang mendengarnya menjadi tenteram dan damai. Banyak orang tidak tenteram karena pikiran. Semoga saya bisa membantu menenteramkan mereka."
Jawaban itu sungguh tidak saya sangka - sangka. Tadinya saya mengira akan mendapat jawaban bahwa lagu itu lagu Jawa kuno, atau lagu pop masa lalu. Ternyata dugaan tersebut meleset. Bagaimana mungkin orang tua ini memiliki pemikiran seperti itu? dalam hati kubertanya.
Tapi saya, yang waktu itu adalah seorang mahasiswa dengan pengetahuan maha luas, yang percaya hanya tindakan besarlah yang bisa mengubah dunia, kembali melontarkan pertanyaan dengan nada sedikit melecehkan, "Lalu sudah sampai mana Pak Slamet menyebarkan ketenteraman itu? Sudah berapa orang yang mendengarnya dan sembuh dari kegalauan hidupnya?"
Ia menjawab tersenyum, "Hanya pada beberapa orang yang rumahnya saya lewati di sekitar sini. Semoga ada satu atau dua di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu saya, walau tidak bagus saya memainkannya. Syukur kalau kedamaian itu ditularkan."
Jawaban tersebut menunjukkan betapa besar hatinya dan membuat kecut hatiku. Dalam kesederhanaannya, pengamen tua itu memberikan apa yang bisa disumbangkan bagi orang lain. Tampaknya remeh, karena lagu - lagunya hanya dihargai seratus perak dan hanya didengar oleh segelintir orang di sebuah wilayah kecil. Tapi ketulusan dan kesungguhannya dalam memberi, bernilai jauh lebih tinggi dari itu.
***
Bertahun - tahun kemudian, tepatnya beberapa hari lalu ketika sedang membaca koran mengenai bencana tsunami, saya menyadari keponakanku terus menerus memandangi deretan nama - nama penyumbang dan jumlah yang mereka berikan bagi korban bencana di halaman lain koran.
Keponakan yang masih kecil itu kemudian bertanya, "Ndrong (dari kata gondrong, panggilan saya di rumah), kalau nyumbangnya sedikit, namanya ditulis nggak?"
"Ya ditulis juga," jawabku, sambil menduga anak ini pasti ingin menyumbang agar namanya masuk koran.
Di luar perkiraan, jawaban itu justru membuat raut mukanya kecewa. Saya tahu sebabnya setelah dia melanjutkan, "Aku cuma punya uang sedikit. Malu kalau namanya ditulis. Kalau aku nyumbang sedikit, nggak bisa buat nolong mereka ya?"
Saat itu juga bayangan Pak Slamet terlintas. Kata-katanya, "...Semoga ada satu atau dua di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu saya, walau tidak bagus saya memainkannya..." seolah terdengar lagi.
Teringat kalimat itu, dengan haru saya katakan pada keponakan saya, "Akan ada satu atau dua orang yang tersambung hidupnya karena sumbangan adek, walau hanya sedikit yang adek berikan. Yang sedikit itu tidak sia - sia karena akan menjadi banyak saat dikumpulkan bersama."
Sebagai catatan, kisah mengenai Pak Slamet sering saya ceritakan kepada teman - teman yang merasa putus asa karena usaha mereka menyerukan perdamaian dirasa sia - sia. Usaha mereka memerangi korupsi seolah tak ada artinya. Usaha menegakkan keadilan seperti tak ada hasilnya.
Saya katakan, bila dilihat dari besar kecilnya yang dilakukan, usaha Pak Slamet membagi kedamaian serasa sia - sia, seperti juga perasaan kita saat kita memperjuangkan sesuatu sendirian atau dalam skala kecil. Tapi walaupun kecil, apa yang dilakukan dengan sungguh - sungguh mungkin bisa menggerakkan orang lain, seperti pengamen tua itu telah menggerakkan saya menceritakan hal ini, walau --sekali lagi-- cerita ini hanyalah cerita biasa yang tampak sia - sia.
Namun dalam apa yang sering kita anggap sia - sia, sebenarnya tersimpan harapan karena orang - orang lain barangkali memiliki pemikiran sama. Maka tepatlah kata - kata John Lennon dalam lagunya, Imagine: "You may say I'm a dreamer... but I'm not the only one, I hope someday you'll join us, and the world will live as one..."
Sumber : KCM - 6 Januari 2005
0 Komentar:
Post a Comment
Setelah dibaca apa anda punya komentar untuk artikel diatas ?
Jika anda merasa tersentuh, terinspirasi, termotivasi dengan artikel ini bagikan bersama kami dengan meninggalkan pesan, kesan atau komentar apa saja.
Semoga komentar anda dapat menjadi semangat bagi yang lainnya.